Historiografi tradisional sering didominasi oleh sudut pandang Eropasentris, yang menempatkan Belanda sebagai aktor utama dan peradaban yang ‘membawa kemajuan’. Narasi ini cenderung menyederhanakan dan mengabaikan kompleksitas perjuangan serta dinamika sosial tentang Penjajahan. Sudah saatnya sejarah ditulis ulang dari kacamata Nusantara, menonjolkan perlawanan dan agensi pribumi.
Klaim lama tentang Penjajahan selama 350 tahun kini semakin digugat oleh sejarawan. Faktanya, dominasi Belanda bersifat sporadis dan teritorial. Banyak wilayah, seperti Aceh, Bali, dan berbagai daerah di Maluku, baru takluk sepenuhnya pada awal abad ke-20 setelah perlawanan sengit. Perlawanan ini membuktikan bahwa bangsa ini tidak pernah pasif menerima penindasan.
Dari sudut pandang pribumi, kedatangan VOC dan Pemerintah Kolonial bukanlah babak baru dalam perdagangan, melainkan permulaan penindasan sistematis. Praktik monopoli, cultuurstelsel (tanam paksa), dan kerja rodi adalah mesin eksploitasi yang merampas hak-hak dasar rakyat. tentang Penjajahan ini adalah warisan penderitaan, bukan peradaban.
Peran raja, sultan, dan ulama sering direduksi menjadi sekadar “pemberontak” melawan otoritas yang sah dalam arsip kolonial. Namun, bagi rakyat, tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, dan Teuku Umar adalah simbol perlawanan tentang Penjajahan dan pelindung martabat. Mereka berjuang mempertahankan kedaulatan yang sudah lama ada.
Pusat narasi harus bergeser dari pembangunan benteng dan kebijakan administrasi kolonial menuju kisah rakyat kecil. Kita perlu menyoroti bagaimana masyarakat di desa-desa mempertahankan tradisi, menyembunyikan hasil panen, dan melakukan perlawanan diam-diam untuk melawan kebijakan penjajahan yang kejam.
Sumber sejarah pribumi, seperti babad, serat, dan tradisi lisan, harus diangkat sebagai bukti. Dokumen-dokumen ini merekam pandangan lokal tentang kekejaman kolonial dan cita-cita kemerdekaan mereka. Pendekatan ini adalah upaya dekolonisasi untuk melengkapi arsip Belanda yang fokus pada kepentingan birokrasi mereka.
Dengan mengubah perspektif ini, kita mengakui bahwa Indonesia adalah bangsa pejuang yang terus melawan dominasi asing, bukan bangsa yang hanya menjadi korban pasif. Sejarah tentang Penjajahan Belanda harus dilihat sebagai kronik perlawanan berabad-abad yang membentuk identitas nasional kita sebagai bangsa yang berdaulat.
Penulisan ulang sejarah ini penting untuk membangun karakter bangsa yang bangga dengan warisan perjuangan. Ini adalah langkah vital untuk memastikan generasi muda memahami bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari ketidakpatuhan, perlawanan gigih, dan pengorbanan para leluhur di seluruh Nusantara.