Indonesia menghadapi Krisis Stunting yang memerlukan perhatian serius dan penanganan multisektor. Stunting, kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, berdampak permanen pada perkembangan kognitif dan fisik. Ini bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga ancaman terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) masa depan bangsa. Memahami akar penyebabnya sangat penting untuk merancang intervensi yang tepat sasaran dan berkelanjutan.
Akar utama dari Krisis Stunting terletak pada 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari konsepsi hingga anak berusia dua tahun. Selama periode emas ini, asupan gizi yang tidak memadai pada ibu hamil dan bayi sangat menentukan. Selain itu, praktik pemberian makanan bayi dan anak (PMBA) yang kurang tepat, termasuk pemberian makanan pendamping ASI yang terlambat atau tidak bergizi, memperburuk kondisi ini.
Faktor sanitasi dan lingkungan juga berperan besar. Akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak (Open Defecation Free atau ODF) seringkali masih rendah di banyak daerah. Lingkungan yang kotor meningkatkan risiko infeksi berulang pada anak. Infeksi seperti diare menghambat penyerapan nutrisi, sehingga meskipun anak diberi makan, gizi tersebut tidak dapat diserap optimal, menyebabkan stunting.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua, khususnya ibu, sangat memengaruhi status gizi anak. Kurangnya literasi kesehatan dan gizi membuat ibu kesulitan memilih makanan bergizi dan menjaga kebersihan. Edukasi mengenai pentingnya ASI eksklusif dan pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin di Posyandu adalah kunci dalam pencegahan dini.
Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi secara struktural menjadi pemicu tidak langsung dari Krisis Stunting. Keluarga miskin seringkali tidak mampu membeli makanan bergizi yang cukup beragam, membatasi asupan protein hewani dan sayuran yang esensial. Program bantuan sosial perlu dioptimalkan dan disinergikan dengan edukasi gizi agar tepat guna dan tepat sasaran.
Pemerintah telah berkomitmen kuat dengan target penurunan angka stunting nasional. Pendekatan yang dilakukan bersifat sensitif (menangani penyebab tidak langsung, seperti air bersih) dan spesifik (menangani penyebab langsung, seperti pemberian makanan tambahan). Koordinasi antar kementerian dan lembaga, hingga tingkat desa, harus diperkuat untuk efektivitas program.
Penanganan Krisis Stunting tidak dapat diserahkan hanya kepada sektor kesehatan. Pembangunan Infrastruktur, terutama sanitasi dan air bersih, harus dipercepat. Penguatan layanan kesehatan primer, termasuk Posyandu dan Puskesmas, juga vital untuk memastikan skrining dan intervensi gizi dini dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Kesimpulannya, mengatasi stunting membutuhkan upaya kolektif jangka panjang yang menyentuh masalah gizi, lingkungan, dan sosial ekonomi. Dengan investasi berkelanjutan pada 1.000 hari pertama kehidupan dan penguatan intervensi sensitif, Indonesia dapat memastikan bahwa anak-anaknya tumbuh optimal, menciptakan SDM yang lebih cerdas dan berdaya saing di masa depan. Sumber